Kisah ini sengaja kami kutip kembali dari "Kisah Si Bung yang Membakar Surabaya" untuk mengenang semangat heroisme arek-arek Surobojo, 10 November 1945:
"Selama Banteng-Banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga! Merdeka!!" - Bung Tomo -
*****
Kisah ini bermula pada tanggal 17 Agustus 1978, dimana sedang berlangsung sebuah upacara kecil nan khidmat memeringati kemerdekaan RI di sebuah penjara di Jakarta. Persis ketika sang saka merah putih dikerek ke udara dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, salah seorang tahanan yang sudah cukup renta tampak menangis.
Ismail Suny, orang yang kini dikenal sebagai pakar hukum tata negara, yang dibui karena berseberangan pendapat dengan Soeharto, mendekati lelaki tua yang masih tampak gagah itu. Dengan setengah berbisik, Suny berkata: "Mengapa Bung menangis? Biasa sajalah."
Suny tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan ucapannya dengan mengutip sekuplet kata-kata Ho Chi Min: “Dari penjaralah justru muncul orang-orang besar.”
Ho Chi Minh mungkin benar. Seandainya Suny berbicara dengan seorang aktivis muda berusia dua puluhan yang dijebloskan ke penjara karena berunjukrasa, kata-kata Ho Chi Minh yang ia kutipkan mungkin bisa menginjeksi nyali dan denyut nadi perlawanan aktivis itu.
Tapi Suny tak berbicara dengan seorang anak muda. Dia berbicara dengan seorang lelaki yang usianya sudah melewati separuh abad, yang dijelujur riwayat hidupnya dipenuhi kisah-kisah heroik perjuangan, seorang lelaki yang pada satu masa pernah memompa semangat dan nyali penduduk seantero kota dengan pidato-pidatonya yang membakar.
Suny sedang berbicara dengan Bung Tomo.
Bung Tomo hadir di penjara bukan sebagai inspektur upacara yang dimintai wejangannya. Bung Tomo mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI di penjara, menatap dikereknya bendera merah putih ke udara di penjara, dalam status sebagai tahanan politik.
Kita tak pernah tahu kenapa Bung Tomo menangis. Yang kita tahu, tiap kali kita mengenang nasib orang-orang yang berjuang memertahankan proklamasi di saat-saatnya yangg tergenting, atau jauh ke belakang lagi, mengenang orang-orang yang pasa masa kolonial Belanda keluar masuk penjara untuk menggerakkan kesadaran rakyat, kita seakan sedang menemukan sebuah kitab yang isinya melulu tragika hidup: riwayat-riwayat hebat yang di ujung hidupnya, atau setidaknya pada penggal tertentu hidupnya, harus menerima rentetan kekecewaan hidup. Mungkin juga kegagalan hidup.
Kita tak bisa mengerti, bagaimana orang macam Bung Tomo bisa dipenjarakan. Membahayakan pemerintah? Apa mungkin dia membahayakan negara yang dulu ia perjuangkan dengan semua kenekatan dan keberaniannya yang legendaris itu?
Jika kita berbicara tentang kisah-kisah heroik perlawanan terhadap upaya Belanda menduduki Indonesia pasca proklamasi 1945, nyaris mustahil kita tak menyebut Bung Tomo. Dalam soal perlawanan langsung di medan tempur yang riil, si bung yang satu ini, melampaui “tiga bung” paling masyhur dalam sejarah Indonesia: apakah itu Bung Karno, Bung Hatta atau pun Bung Sjahrir.
“Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal, Krawang-Bekasi.
Bung Tomo tak ada di sajak itu. Chairil bukannya lupa dan tak tahu siapa Bung Tomo. Chairil justru sangat tahu, Bung Tomo tak perlu dijaga. Juga tak perlu dikawal. Bagaimana pula mengawal seorang pemimpin perang yang hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat, dari satu front ke front lain dengan kilat?
*****
Di sebuah sudut kota Surabaya, di ruang kecil seukuran kamar tidur, Bung Tomo duduk di depan sebuah meja kecil. Di depannya, tersorong sebuah mikrofon. Tangannya memegang beberapa helai kertas yang sudah dicoreti oleh potlot.
Dari memoar yang ia tuliskan sendiri, kita simak apa yang berkecamuk di kepala anak muda bertubuh ramping mungil ini.
“Pidatoku mulai kubaca. Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di mukaku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap, menghadapi bahaya yang mendatang…. Tak dapat kulukiskan betapa gembiraku, ketika selesai aku membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi mukaku…. Aku mendengar beberapa orang di antara mereka itu berkata: “Tidak berbeda dengan Bung Karno’.”
Titimangsa ketika itu menunjuk 14 Oktober 1945. Dan dentang pukul terlihat berhenti di angka 19.30 malam. Itulah saat untuk pertama kali Bung Tomo berbicara di corong Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Dan itulah kali pertama Radio Pemberontakan tersebut mengudara.
Radio itu didirikan atas inisiatif Bung Tomo. Kisahnya berawal dari kepergian Bung Tomo ke Jakarta pada awal Oktober. Dalam statusnya sebagai wartawan Antara dan Biro Penerangan Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya, Bung Tomo bertemu dengan pemimpin-pemimpin republik, menceritakan bagaimana di Surabaya arek-arek tak pernah membiarkan sekali pun bendera Belanda berkibar sekenanya, dan juga mengusulkan agar didirikan sebuah siaran radio untuk membakar dan menjaga semangat rakyat, sebagai penyeimbang atas siasat diplomasi pemerintah. Dan radio itu, kata Bung Tomo, sifatnya klandestin dan di luar tanggungjawab pemerintah.
Dari situlah Radio Pemberontakan itu lahir. Dari corong radio tersebut, pidato-pidato dengan menggunakan pelbagai bahasa asing dan bahasa daerah disiarkan. Lagu-lagu perjuangan didendangkan.
Sehari menjelang pertempuran 10 November, radio ini pula yang menyerukan segenap arek-arek Surabaya untuk memertahankan Surabaya dengan apa pun alat dan cara yang dimungkinkan dan jika perlu membumihanguskan Surabaya sendiri jika dirasa Sekutu sudah terang akan berhasil merebut Surabaya.
Pidato-pidato Bung Tomo yang membakar, suaranya yang menggelegar dan kemampuannya memilah yel-yel, membuat tak ada orang Surabaya yang tak mengenal suaranya. Orang tak akan lupa pada seruan di setiap pembukaan orasinya: "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Sepintas ia tampak gagah dan berkarakter keras. Tapi sesungguhnya dia seorang yang lembut. Kelembutannya, sekaligus rasa frustasinya menyaksikan ulah para politisi Indonesia, tercermin dalam salah satu surat cinta yang ia tulis untuk istrinya pada sekitar awal tahun 1950-an:
“Pagi ini begitu besar kangenku, sehingga ingin saya menulis kemari. Aku saiki dadi politikus tenan. Aku rapat sedino nganti ping pitu. Ibu pertiwi seakan-akan tersenyum di hadapan mataku! Doakan untuk kakandamu, sayang! Agar aku selalu dapat kekuatan. Hanya di waktu malam sebelum tidur, saya selalu merasakan adanya kekosongan! Saya tak mempunyai seorang di sampingku yang dapat melihat air mataku bercucuran, saya menjadi jengkel karena egoisme yang begitu besar dari beberapa orang yang mengaku pemimpin. Sampai ketemu sayang. Veel liefs van je... Tomo (Salam mesra dari Tomo).”
Bung Tomo yang keras hati, yang lembut dan yang idealis, bercampur lebur dalam surat cintanya yang pendek pada istrinya itu.
Di pengujung pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang mula-mula didukungnya, Bung Tomo kembali muncul ke permukaan. Namun, di awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1978 ia ditahan. Ia baru dilepaskan setahun kemudian.
Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Mekkah saat sedang menunaikan haji. Jenazahnya dibawa ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Bung Tomo memang bukan pahlawan jika ukurannya adalah selembar Surat Keputusan pemerintah. Dia, paling banter, hanya mendapat Bintang Mahaputra Utama pada 1995 secara anumerta.
Tapi, apalah arti sehelai dua helai kertas yang bisa lusuh macam itu bagi seseorang macam Bung Tomo?
COMMENTS