Keberadaan kue
keranjang memang identik dengan perayaan tahun baru Imlek. Bahkan, kue yang terbuat
dari tepung ketan dan gula ini, menjadi salah satu panganan khas atau wajib
saat perayaan. Dibalik rasanya yang manis,ternyata kue yang juga akrab disebut
dodol Cina atau Nian Gao, juga memiliki sejarah yang unik.
Dodol (atau jenang
dalam bahasa Jawa) diantaranya memakai bahan baku santan, sehingga mudah
menjadi tengik dalam waktu beberapa bulan saja, sedangkan kue keranjang bisa
tahan sampai setahun.
Kue ini memiliki nama
asli Nian Gao atau Ni-Kwe yang disebut juga kue tahunan, karena hanya dibuat
setahun sekali pada masa menjelang tahun baru Cina. Kata Nian sendiri berarti
tahun, dan Gao berarti kue dan juga terdengar seperti kata tinggi. Oleh sebab
itu, kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Kue yang disusun itu
memberikan makna peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran.
Pada zaman dahulu,
banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga si
pemilik rumah. Biasanya, kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok
berwarna merah di bagian atasnya. Ini merupakan simbol kehidupan manis yang
kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
Menariknya, kue
keranjang sendiri bukanlah sekadar tradisi semata, namun ada kisah yang
melatarbelakanginya. Menurut ulasan yang dirangkum dari Info Jajan dan
Wikipedia, di zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo (tempat masak)
dalam dapur di setiap rumah ada dewanya yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti
(Raja Surga). Dewa itu juga sering dikenal dengan sebutan Dewa Tungku, yang
ditugaskan untuk mengawasi segala tindak tanduk dari setiap rumah dalam
menyediakan masakan setiap hari.
Setiap akhir tahun,
tanggal 24 bulan 12 Imlek (atau h-6 tahun baru), Dewa Tungku akan pulang ke
surga serta melaporkan tugasnya kepada Raja Surga. Jadi, demi menghindarkan
hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk memberikan
hidangan yang menyenangkan atau hal-hal yang dapat membuat Dewa Tungku tidak
murka.
Bagaimana caranya
agar Dewa Tungku tidak murka? Hal inilah yang akhirnya membuat warga pun
mencari bentuk sajian yang manis, yakni kue yang disajikan dalam keranjang.
Maka disebutlah kue keranjang, yang sudah mentradisi setiap tahun disajikan
untuk merayakan tahun baru Imlek.
Saat menyajikan kue
untuk Dewa Tungku, kue keranjang juga ditentukan bentuknya. Bentuk bulat
dipilih karena memiliki makna keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat
berkumpul, setidaknya satu tahun sekali, serta tetap menjadi keluarga yang
bersatu, rukun, bulat tekad dalam menghadapi tahun baru yang akan datang.
Uniknya, secara turun-menurun tradisi ini pun dibawa terus hingga saat ini.
Kue keranjang
memiliki nama asli Nian Gao atau Ni-Kwe yang disebut juga kue tahunan karena
hanya dibuat setahun sekali pada masa menjelang tahun baru Imlek. Di Jawa Timur
disebut sebagai kue keranjang sebab dicetak dalam sebuah "keranjang"
bolong kecil, sedangkan di beberapa daerah di Jawa Barat ada yang menyebutnya
Dodol China untuk menunjukkan asal kue tersebut yaitu China, walaupun ada
beberapa kalangan yang merujuk pada suku pembuatnya, yaitu orang-orang
Tionghoa.
Sedangkan dalam
dialek Hokkian, ti kwe berarti kue manis, yang menyebabkan orang-orang tidak
sulit menebak kalau kue ini rasanya manis.
Di China terdapat
kebiasaan saat tahun baru Imlek untuk terlebih dahulu menyantap kue keranjang
sebelum menyantap nasi sebagai suatu pengharapan agar dapat selalu beruntung
dalam pekerjaannya sepanjang tahun.
Nian Gao, kata Nian
sendiri berati tahun dan Gao berarti kue dan juga terdengar seperti kata
tinggi, oleh sebab itu kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat.
Makin ke atas makin mengecil kue yang disusun itu, yang memberikan makna
peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran. Pada zaman dahulu banyaknya atau
tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya
kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian
atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar
seperti kue mangkok.
Kue yang terbuat dari
beras ketan dan gula ini dapat disimpan lama, bahkan dengan dijemur dapat
menjadi keras seperti batu dan awet. Sebelum menjadi keras kue tersebut dapat disajikan
langsung, akan tetapi setelah keras dapat diolah terlebih dahulu dengan
digoreng menggunakan tepung dan telur ayam dan disajikan hangat-hangat. Dapat
pula dijadikan bubur dengan dikukus kemudian ditambahkan bumbu-bumbu kesukaan.
Sumber: dari berbagai sumber.
Powered by cat tembok tinting Kem-Tone Spectrum dan ColorTone.
COMMENTS